Article Detail
Mayjend Donald Isaac Pandjaitan
Mayjend Donald Isaac Pandjaitan
Oleh: Yohanes Paulus Dewa Made Mazmur Nusantara Raya
Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, atau yang kerap disapa D. I. Pandjaitan adalah seorang perwira TNI asal Balige, Kabupaten Toba, Sumatra Utara. Ia lahir pada 9 Juni 1925. Tidak diketahui dengan jelas keluarga Pandjaitan, namun ia memulai pendidikannya sama seperti kita, hanya tanpa TK. Seusai menyelesaikan pendidikannya, Pandjaitan kemudian masuk sebagai anggota militer. Namun ketika itu, Indonesia sedang dalam masa penjajahan Jepang. Sehingga, diwajibkan bagi setiap anggota militer yang baru, mengikuti Gyugun atau Pembela Tanah Air (PETA), yang merupakan kesatuan militer Indonesia yang dibentuk oleh Jepang. Pandjaitan mengikuti pelatihan PETA ini di Pekanbaru, Riau, Sumatra Timur. Setelah selesai pelatihannya, Pandjaitan kemudian ditugaskan menjadi PETA di Pekanbaru hingga proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika Indonesia akhirnya mendapat kemerdekaannya, Pandjaitan bersama tentara muda lainnya membentuk kesatuan militer, yaitu BKR atau Badan Keamanan Rakyat. Namun, pada 5 Oktober 1945, BKR berubah menjadi TKR, yaitu Tentara Keamanan Rakyat, yang akhirnya menjadi cikal bakal TNI. Karena waktu itu Indonesia masih baru merasakan kemerdekaan, maka keamanan belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Maka, Residen Riau yang kala itu menjabat menghubungi Hasan Basri, yaitu kawan dekat D. I. Pandjaitan untuk turut menempatkan TKR di Riau. Tak lama, Pandjaitan merespons nya dengan turut bergabung bersama dengan pemuda lainnya di TKR Riau. Beberapa bulan setelah TKR Riau dibentuk, Pandjaitan menjabat sebagai Komandan Batalion di Resimen IV Riau dengan pangkat Mayor. Pada tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Pertahanan Kota Pekanbaru. 1948, ia menjabat sebagai Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi. Pada saat agresi militer Belanda II, ia kemudian menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Setelah “Konferensi Meja Bundar”, Pandjaitan diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium atau T&T di Bukit Barisan, Medan. Sama seperti Letjen Ahmad Yani, D. I. Pandjaitan juga menorehkan prestasi yang luar biasa. Pada tahun 1956, ia mengikuti kursus militer Atase atau Milat, yaitu sebuah jabatan di lingkungan kedutaan besar suatu negara. Ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman. Selain itu, Pandjaitan juga mulai tenar namanya ketika berhasil memutus jalur pengiriman senjata dari RRC kepada PKI. Senjata-senjata selundupan tersebut diselundupkan melalui peti-peti bahan bangunan yang nantinya akan digunakan untuk membangun Confeo atau Conference of New Forces. Senjata tersebut juga diselundupkan bagi PKI yang ingin mendirikan angkatan kelima. Selama hidupnya, D. I. Pandjaitan juga dikenal dekat dengan Ahmad Yani, yang akhirnya juga menjadi rekan seperjuangannya. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, para eksekutor G30S memaksa masuk ke kediaman Pandjaitan. Mereka menerobos masuk dan menghancurkan perabotan Pandjaitan. Kemudian, mereka menembaki seisi rumah dan meminta Pandjaitan untuk segera turun. Demi keselamatan keluarganya, Pandjaitan menuruti perintah para eksekutor. Kemudian, Pandjaitan ditembak dan mayatnya dibawa ke lubang buaya
Mayjend Donald Isaac Pandjaitan
Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan, atau yang kerap disapa D. I. Pandjaitan adalah seorang perwira TNI asal Balige, Kabupaten Toba, Sumatra Utara. Ia lahir pada 9 Juni 1925. Tidak diketahui dengan jelas keluarga Pandjaitan, namun ia memulai pendidikannya sama seperti kita, hanya tanpa TK. Seusai menyelesaikan pendidikannya, Pandjaitan kemudian masuk sebagai anggota militer. Namun ketika itu, Indonesia sedang dalam masa penjajahan Jepang. Sehingga, diwajibkan bagi setiap anggota militer yang baru, mengikuti Gyugun atau Pembela Tanah Air (PETA), yang merupakan kesatuan militer Indonesia yang dibentuk oleh Jepang. Pandjaitan mengikuti pelatihan PETA ini di Pekanbaru, Riau, Sumatra Timur. Setelah selesai pelatihannya, Pandjaitan kemudian ditugaskan menjadi PETA di Pekanbaru hingga proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika Indonesia akhirnya mendapat kemerdekaannya, Pandjaitan bersama tentara muda lainnya membentuk kesatuan militer, yaitu BKR atau Badan Keamanan Rakyat. Namun, pada 5 Oktober 1945, BKR berubah menjadi TKR, yaitu Tentara Keamanan Rakyat, yang akhirnya menjadi cikal bakal TNI. Karena waktu itu Indonesia masih baru merasakan kemerdekaan, maka keamanan belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Maka, Residen Riau yang kala itu menjabat menghubungi Hasan Basri, yaitu kawan dekat D. I. Pandjaitan untuk turut menempatkan TKR di Riau. Tak lama, Pandjaitan merespons nya dengan turut bergabung bersama dengan pemuda lainnya di TKR Riau. Beberapa bulan setelah TKR Riau dibentuk, Pandjaitan menjabat sebagai Komandan Batalion di Resimen IV Riau dengan pangkat Mayor. Pada tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Pertahanan Kota Pekanbaru. 1948, ia menjabat sebagai Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi. Pada saat agresi militer Belanda II, ia kemudian menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Setelah “Konferensi Meja Bundar”, Pandjaitan diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium atau T&T di Bukit Barisan, Medan. Sama seperti Letjen Ahmad Yani, D. I. Pandjaitan juga menorehkan prestasi yang luar biasa. Pada tahun 1956, ia mengikuti kursus militer Atase atau Milat, yaitu sebuah jabatan di lingkungan kedutaan besar suatu negara. Ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman. Selain itu, Pandjaitan juga mulai tenar namanya ketika berhasil memutus jalur pengiriman senjata dari RRC kepada PKI. Senjata-senjata selundupan tersebut diselundupkan melalui peti-peti bahan bangunan yang nantinya akan digunakan untuk membangun Confeo atau Conference of New Forces. Senjata tersebut juga diselundupkan bagi PKI yang ingin mendirikan angkatan kelima. Selama hidupnya, D. I. Pandjaitan juga dikenal dekat dengan Ahmad Yani, yang akhirnya juga menjadi rekan seperjuangannya. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, para eksekutor G30S memaksa masuk ke kediaman Pandjaitan. Mereka menerobos masuk dan menghancurkan perabotan Pandjaitan. Kemudian, mereka menembaki seisi rumah dan meminta Pandjaitan untuk segera turun. Demi keselamatan keluarganya, Pandjaitan menuruti perintah para eksekutor. Kemudian, Pandjaitan ditembak dan mayatnya dibawa ke lubang buaya. Oleh: Yohanes Paulus Dewa Made Mazmur Nusantara Raya
-
there are no comments yet